Senin, 05 Oktober 2009

MTQ dibalik Hiruk-pikuk BBJ


Bulan Juli-Agustus 2009 ini, jember dipenuhi beragam kegiatan. Agenda tahunan BBJ (Bulan Berkunjung ke Jember) dengan beragam acara, mulai dari seminar, karnaval, dan berbagai jenis perlombaan digelar. Meriah. Itu kesan yang di dapat dari deselenggarakannya BBJ. Tidak hanya itu, tahun ini kemeriahan di Jember bertambah dengan dipilihnya Jember sebagai tuan rumah MTQ XXIII di Jawa Timur. Berbagai pihak menyambut baik dipilihnya Jember sebagai tuan rumah mengingat Jember adalah kota santri yang sedang berbenah menuju kota religius. Namun, pelaksanaan MTQ di kota santri ini ternyata menyimpan ironi. Batapa tidak? MTQ yang dilaksanakan berbarengan dengan agenda BBJ tenggelam di balik hiruk-pikuk BBJ. Jember dikenal sebagai kota santri. Sekitar 90% penduduknya beragama Islam. Jember pun memiliki banyak pesantren. Bahkan jumlah pesantren di jember leboh banyak dari jumlah desanya. Mencari masjid atau mushola? Tidak sulit untuk menemukannya. Jember memiliki 2.028 masjid dan 3.066 Mushola. Tidak heran kalau para pemuka agama di Jember beserta beberapa ormas islam melontarkan wacana jember kota religius beberapa waktu lalu. Kalau kemudian Jember menajdi tuan rumah MTQ XXIII Jawa Timur, ini adalah gayung bersambut. Namun faktanya, MTQ XXIII tidak menjadi gegap gempita. Ribuan pesantren, masjid, musholla dan even religi Akbar MTQ tidak mampu menandingi hiruk-pikuk BBJ. Sempat diberitakan suara lantunan Al-Quran kalah dengan suara perkutut. Banyak warga Jember juga tidak mengetahui kalau di Jember sedang dilangsungkan MTQ. Warga yang antusias ingin tahu pun, harus cukup puas dengan mendapatkan informasi yang minim dari media karena tempat-tempat dilaksanakannya berbagai lomba dalam MTQ tidak terjangkau. Keluhan juga datang dari peserta. Di antara mereka ada yang mengomentari kontrasnya suasana di Jember dengan julukan yang disandangnya. Seperti dituturkan Erfi, seorang peserta dari Lumajang, “jember kota santri memang iya, tapi ternyata di Jember itu banyak maksiyat.” Dia menunjuk lokasi alun-alun yang dijadikan tempat remaja bergaul bebas padahal ada di kompleks masjid Al-Amien. Lebih mengkhawatirkan dari itu, ikon Jember sebagai kota santri agaknya akan berubah. Jember kini lebih dikenal dengan JFC-nya. Salah satu karnaval dalam agenda BBJ. Pemerintah pun selah mengamini hal ini. Situs resmi Pemkab Jember (pada Kamis, 6 Agustus 2009) tidak menempatkan berita kelarnya perhelatan MTQ di Jember. Seolah tak menjadi kebanggaan. Situs resmi itu justru memuat spektakulernya JFC (Jember Fashion Carnaval). Beberapa kalangan telah ada yang mencetuskan dan menegaskan JFC sebagai ikon Jember. Itu salah satunya diungkapkan oleh Prof. Ayu Sutarto, dosen dan budayawan nasional. Jember bahkan mendapat pujian dari Yon Sudiono, kameramen Rajawali TV Malang. “Di Malang aja karnaval seperti JFC ini tidak pernah ada,” pujinya. Padahal kita sama-sama tahu, Malang dikenal sebagai kota pelajar yang jauh dari kesan religius. Kondisi di atas tentu sangat meresahkan ormas-ormas Islam termasuk para pemuka agama di jember. Jember dirasakan mulai membuka kran kebebasan. Apalagi diselenggarakannya JFC tiap tahun dinilai akan mempengaruhi gaya hidup masyarakat Jember menjadi liberal. Agaknya ini bukan sekedar kekresahan. Martha Tilaar, yang hadir pada JFC ke 8 kali ini mengungkapkan bahwa JFC bukan hanya menjadi wadah kreatifitas, tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup (life style). Sungguh, ironi di kota santri![iQ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar