Kamis, 29 Oktober 2009

SETENGAH NOLONG, SETENGAH “MENTHUNG”

Kebijakan konservasi minyak ke gas yang diputuskan pemerintah telah lama diberlakukan. Dan janji bantuan kompor gas gratis juga diumumkan pada masyarakat. Setelah sekian lama menunggu dan setelah lama mengalami kelangkaan minyak tanah, harga minyak tanah muahal, karena program konservasi, janji kompor gas gratis akhirnya datang juga. Sesaat saya bahagia karena setidaknya beban saya akan sedikit berkurang.
Tapi kebahagiaan saya pupus, karena setelah berkonsultasi dengan reparator kompor gas, saya dianjurkan untuk mengganti beberapa onderdil kompor agar tidak meledak seperti beberapa kasus yang muncul di televisi. Demi keselamatan jiwa dan keluarga saya, jadilah saya melakukan anjuran reparator itu. Kurang lebih 150 ribu dana yang harus saya kucurkan untuk menikmati kompor gas “gratis” yang aman. Setelah beberapa minggu pasca pembagian kompor, bebarapa tetangga saya bercerita kalau kompornya rusak, saya jadi was-was, kalau kompor saya rusak saya harus mengeluarkan dana berapa lagi? Belum lagi isu kanaikan harga gas yang membuat saya semakin was-was. Jika pemerintah benar-benar berniat membantu, janganlah setengah hati. Kalau seperti ini program bantuan yang dimaksud pemerintah, bisa-bisa rakyat mati pelan-pelan.
Ika Misfat Isdiana A. Ma. Pd*

SANKSI TEROR PEJABAT NEGARA


Akhir-akhir ini kita sering mendengar pemberitaan media massa tentang terorisme, teroris dan bom. Walau ada fakta gempa Padang yang mencengangkan, isu teroris tak kunjung surut.
Kita ketahui bersama, bahwa terorisme adalah tindakan yang mengancam masyarakat, walau tidak mengancam jiwa setidaknya rasa takut akibat terror bisa disebut aksi terorisme karena menimbulkan ketakutan, keresahan, ketidaknyamanan.
Jika demikian, maraknya kasus KKN para pejabat Negara, isu rencana pembunuhan pejabat Negara, isu kenaikan harga- harga kebutuhan pokok, BBM, LPG dll, sistem Negara yang mendekati orde baru termasuk dalam aksi terror. Karena ketidakadilan, ketidakpastian itu membuat rakyat cemas, resah, was-was dan takut untuk melangsungkan hidupnya. Seharusnya pemerintah tidak melakukan aksi yang “menteror” rakyat dengan kebijakannya, karena itu akan menginspirasi rakyatnya.
Jika densus 88 berhak menembak mati para teroris yang menebar teror, apa sanksi yang harus diberikan pada aparatur Negara yang melakukan “terror” agar mereka jera?
Ika Misfat Isdiana A. Ma. Pd*

SALAH=BENAR, BENAR=SALAH


Saat ini sulit untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pasalnya, banyak fakta yang menyalahkan kebenaran dan membenarkan yang salah. Dalam kasus Lumpur Lapindo misalnya, kita sudah sama-sama tahu kasus Lumpur Lapindo sampai 3 tahun lebih 5 bulan belum kunjung selesai. Masalah relokasi ataupun ganti rugi, semuanya hanya janji-janji palsu. Tapi aneh bin ajaib di negri ini. Orang yang notabene harus bertanggungjawab dalam masalah ini masih saja dipercaya. Bahkan saat ini malah dijadikan Ketua Umum Partai Golkar, sebut saja Abu Rizal Bakrie. Abu Rizal Bakrie seolah-olah bebas dari tanggungjawabnya dengan banyak kambing hitam yang diperkarakan dalam kasus Lumpur Lapindo. Banyak orang memberi dukungan dan harapan padanya. Padahal dari kasus Lumpur Lapindo saja, semua orang bisa menilai.
Jika dalam masalah Lumpur Lapindo saja tidak bisa selesai, bagaimana nanti jika menjadi Presiden atau Wapres jika itu yang menjadi tujuan Golkar di Pilpres 2010. Padahal saat bencana Lumpur Lapindo terjadi Abu Rizal Bakrie menjabat sebagai Menkokesra. Inilah bukti sebuah ketidakadilan di negri ini. Yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Apakah orang-orang di zaman kapitalis ini benar-benar dibutakan oleh materi. (vY*)

Semua Jadi TO


Begitu heroiknya densus 88 dalam penangkapan teroris hingga membuat semua orang kini menjadi sasaran densus 88. Bagaimana tidak, setelah pengawasan terhadap ormas Islam yang memperjuangkan syari’at Islam hingga adanya pencitraburukan terhadap simbol-simbol Islam, seperti; jenggot, kerudung besar, jilbaber, ataupun cadar. Kini, densus 88 telah menjadikan mahasiswa sebagai target operasi. Setelah densus 88 mengeluarkan statmentnya, tak luput semua media baik elektronik maupun cetak memberitakan bahwa penerus Nordin belum habis karena mereka mempunyai penerus yaitu kalangan mahasiswa. Tak ayal saat ini kegiatan mahasiswa bakal diawasi, bahkan pemberian stigma mahasiswa yang menjadi kader teroris pun beredar di masyarakat. Mulai mahasiswa yang kritis, memiliki keinginan untuk memperjuangkan Islam, sampai adanya kepedulian terhadap saudaranya di belahan negri Islam yang lain.
Ada apa dengan densus 88. Apakah mereka kehilangan cara sehingga saat ini membidik mahasiswa yang kritis? Kenapa juga aparatur Negara ini tidak menindak mahasiswa yang melakukan free sex, narkoba, ataupun aborsi?
Melihat perkembangan kinerja densus 88 dalam penangkapan teroris, bisa jadi nanti tukang becak jadi sasarannya. Bagaimana tidak, kehidupan yang serba sulit dan iming-iming bayaran untuk jihad bias menjadi alasan densus 88. Atau jangan-jangan kita nanti yang menjadi giliran TO (Target Operation) densus 88. (vY*)